Diberdayakan oleh Blogger.

Gallery


Mensinergikan visi pendidikan Orang Tua dan pesantren dalam mendidik santri, baik dalam pemahaman maupun praktik adalah hajat yang mutlak diwujudkan.
 La Tansa-(8/01/2010). Pondok Pesantren La Tansa secara ideologis berdiri di atas landasan filosofis (QS. Al Qashash: 77), visi  dan misi yang didasarkan pada cita-cita luhur untuk melahirkan generasi umat yang oleh Ibnu Kholdun dalam Mukaddimahnya dinyatakan sebagai generasi yang:
  1. Memiliki pemahaman keagamaan/keimanan yang benar.
  2. Berakhlak
  3. Memiliki kemampuan untuk hidup di lingkungan sosial.
  4. Memiliki skill vokasional atau keterampilan praktis/kemampuan melakukan pekerjaan.
  5. Memiliki bangunan pemikiran yang sahih/benar.
Hal-hal di atas dikenal oleh para pemikir pendidikan sebagai visi pendidikan Ibnu Kholdun.
Visi tersebut secara operasional sebenarnya telah ada dalam proses pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren La Tansa:
  • Mengenai penyiapan segi keagamaan/keimanan, tergambar dalam desain kurikulum pesantren yang di dalamnya diajarkan pelajaran-pelajaran keagamaan, jelas.
  • Mengenai penyiapan segi akhlak, tergambar dalam penanaman nilai-nilai yang tercermin dalam Panca Jiwa (tiga antaranya: keikhlasan, kesederhanaan, Ukhuwah Islamiyah, kebebasan) dan Motto Pondok (satu di antaranya: berbudi luhur).
  • Mengenai penyiapan segi kemasyarakatan atau sosial, tergambar dalam pola keseharian santri yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan guru, kawan-kawan, karyawan, wali santri yang memiliki latar belakang etnis, kultur, ideologi politik, bahkan pemahaman keagamaan yang plural. Merekapun dibiasakan hidup dalam bingkai sistem dan nilai-nilai pesantren yang menata kehidupan mereka, baik mereka ikuti secara sadar maupun terpaksa, itu adalah proses pendidikan yang lazim di tempat manapun.
  • Mengenai penyiapan segi vokasional atau keterampilan praktis/kemampuan melakukan pekerjaan, tergambar dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan intrakurikuler bidang keterampilan yang membekali mereka kecakapan hidup (soft skill) dengan bidang-bidang yang beragam; seni dekorasi, seni merangkai janur, seni musik, komputer, dll.
  • Mengenai penyiapan segi pemikiran yang sahih/benar. Tergambar dalam bagaimana pesantren merespon berbagai gejala-gejala pemikiran sosial dan kegamaan yang berpotensi merusak bangunan fundamnetal iman (akidah), sekaligus memberikan pemahaman dan proteksi kepada para santri.
Kesemua itu, dalam ruang lingkup kelembagaan adalah bangunan visi pendidikan yang sudah semestinya dipahami oleh seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) pesantren. Karena visi adalah cita-cita atau fakta yang sangat diharapkan dapat terwujud di masa yang akan datang.
Selanjutnya, dalam kerangka teori dan bangunan visi di atas penulis ingin mengajak seluruh stakeholder pesantren untuk sama-sama menyatukan visi dan persepsi kita atas visi tersebut, sehingga akhirnya dapat membawa anak-anak didik kita kepada  daratan visi yang harus kia capai. Pemahaman yang sinergis dan terintegrasi terhadap visi pendidikan ini adalah penting, menjadi hajat yang mutlak dipenuhi, sebagai salah satu konsekuensi logis dari cita-cita mewujudkan visi pendidikan untuk anak-anak kita.
Perbedaan pandangan akan melahirkan perbedaan perilaku, perbedaan perilaku akan melahirkan persoalan, persoalan ini akan menghambat proses pendidikan dan pengajaran, terhambatnya proses pendidikan dan pengajaran pada akhirnya kontraproduktif terhadap upaya terwujudnya visi luhur pendidikan pesantren. Dengan demikian, ketidaksamaan persepsi terhadap visi adalah persoalan yang “mengancam” keberlangsungan lembaga pendidikan itu sendiri, karena visi bersifat fundamental, hal-hal yang fundamental mutlak membutuhkan kesamaan dan kebersamaan.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain kepala lain pikirannya, dalam upaya mengintegrasikan persepsi terhadap visi pendidikan pun sering kali tidak senada seirama. Terutama, yang ingin penulis soroti adalah perbedaan pandangan terhadap visi pesantren antara orang tua dan keluarga besar pesantren. Banyak faktor yang melatarbelakangi perbedaan ini, di antaranya disebabkan oleh perbedaan pola dan paradigma pendidikan orang tua (pada umumnya) dan pesantren.
K.H. Adrian Mafatihullah Kariem, MA pernah menyampaikan dalam ceramahnya, bahwa naluri keorangtuaan (pada umumnya) adalah salah satu hal yang melahirkan perbedaan antara pola pendidikan dan orang tua terhadap peserta didik (santri). Naluri keorangtuaan cenderung memberikan proteksi dan kebahagiaan yang berlebih, karena lebih didorong oleh keadaan emosional tehadap putra-putrinya, sehingga yang sering kali nampak adalah treatment orang tua kepada anaknya yang acap kali keluar dari koridor normatif kepesantrenan.
Sementara pesantren dalam mendidik para santri memberikan treatment  yang lebih bersifat rasional dan normatif. Rasional dan normatif tentu saja tidak berarti bahwa pesantren tidak memiliki kepekaan emosional dan pertimbangan kemanusiaan. Kepekaan emosional dan pertimbangan kemanusiaan jelas menjadi bagian dari hal-hal yang mendasari lahirnya berbagai perangkat sistem pesantren. 
Pandangan ini tidak bermaksud untuk menempatkan orang tua santri dan pesantren pada posisi yang konfrontatif, pandangan ini disampaikan agar  ada kesadaran bersama bahwa dalam konteks mewujudkan visi ini masih menyimpan persoalan. Bukankah persoalan adalah ketidaksesuaian kenyataan dengan harapan. Harapan kita semua adalah terjadinya kesamaan perspesi dalam mewujudkan visi pendidikan pesantren.  
Hal ini mudah ditemui dalam persoalan sehari-hari adalah persoalan izin pulang, khususnya pada momen-momen tertentu, seperti momen tahun baru yang baru saja kita lalui. Dari data perizianan yang ada (meskipun sangat kecil prosentasenya dibandingkan yang tidak izin pulang),  beberapa di antara kawan-kawan wali santri kita yang berusaha untuk bisa ikut memeriahkan euforia pergantian tahun baru di rumah dan tempat-tempat hiburan bersama putra-putri tercintanya.
Pesantren tentu saja sangat memahami kondisi psikologis orang tua yang ingin selalu mempersembahkan yang terbaik bagi putra-putrinya, namun terkadang “persemabahan terbaik” ini menjadi persoalan saat berhadapan dengan komitmen kita untuk sama-sama dalam satu kerangka persepsi mewujudkan visi.
Mungkin ada pertanyaan, apakah persoalan izin pulang harus dilihat sebagai persoalan yang menggambarkan ketidaksamaan pandangan visi?
Pada dasarnya, pangkal persoalannya bukan pada persoalan izin pulang, tapi pada alasan apa yang melatarbelakangi izin pulang. Ketika izin pulang didasarkan pada regulasi yang telah digariskan hal itu tidak menjadi persoalan, dan akan menjadi persoalan ketika izin pulang itu didasarkan pada alasan yang tidak sesuai dengan regulasi yang semestinya, dan regulasi itu telah dirumuskan secara matang berdasarkan pada kemaslahatan santri dan pesantren.
“Regulasi”, atau aturan main inilah kira-kira kata kuncinya. Regulasi dalam ruang lingkup kelembagaan merupakan bagian dari bangunan sistem pesantren, yang itu tidak lain adalah terjemahan operasional dari visi pendidikan pesantren yang secara aklamatif kita amini.
Maka, dalam wadah komunikasi global (website) ini, dan dalam artikel saingkat ini penulis menyampaikan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk sama-sama mengevaluasi kesadaran kita, dan tekad kuat kita untuk mendidik anak dengan visi, bukan mendidik anak dengan memberikan kesenangan sesaat, namun tidak maslahat bagi masa depan mereka.
Nampaknya akan menjadi pemandangan yang amat indah manakala semua unsur pesantren bahu membahu mewujudkan visi pendidikan pesantren ini sesuai dengan kapasitasnya, setiap unsur akan bergerak, berjalan ke arah terwujudnya visi.     
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan singkat ini bisa menjadi salah satu dari sekian upaya kita semua untuk sama-sama melihat visi pendidikan pesantren La Tansa dengan kerangka persepsi yang sama. Wallaahu a’lam. [jrd].

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Pesantren La Tansa
Lihat profil lengkapku

Pengikut