Diberdayakan oleh Blogger.

Gallery

Pada hari Selasa, 14 April 2009 Pemimpin Pondok Pesantren La Tansa K.H. Adrian Mafatihullah Kariem, MA mendapat undangan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah dan Adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin (IAIN SMH) Serang Banten untuk menjadi pemateri dalam sebuah Seminar Pendidikan.


Seminar yang bertajuk "Fenomena Kekerasan dalam Dunia Pendidikan" ini dihadiri oleh 4 nara sumber, tiga narasumber yang lainnya adalah Dr. Ajak Moeslim, MM (Dinas Pendidikan Propinsi Banten), Drs. Toha Sobirin, M. Pd. (Pengamat Pendidikan Propinsi Banten), Yayah Rukiyah, M. Si (Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah), menggantikan Seto Mulyadi yang berhalangan hadir.
Pada kesempatan ini pemimpin pesantren mengangkat judul "Kekerasan dalam Dunia Pendidikan dan Dilema UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Perspektif Keguruan".
Dalam makalahnya, beliau menyatakan dengan tegas bahwa tindak kekerasan dengan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan dalam perpspektif pendidikan. Namun, beliau juga menggaris bawahi tentang kerancuan interpretasi (penafsiran) dari rekan-rekan aktivis HAM dan Komisi Perlindungan Anak dalam melihat pemberian sanksi guna penegakkan disiplin di dunia pendidikan. Interpretasi itu sering men-generalisasi segala bentuk tindakan, seperti menjewer, menggunduli rambut (botak), dan sanksi-sanksi lain yang dalam perspektif pendidikan tidak berlebihan dan mendidik, namun dilihat oleh mereka sebagai bentuk kekerasan. Generalisasi dalam konteks ini tentu saja membuat bias makna kekerasan sekaligus makna sanksi itu sendiri.
Beliau juga tidak menutup mata, dengan kompleksitas dinamika dalam lingkungan pendidikan, kondisi sosial masyarakat kita, pluralitas kondisi emosional pendidik dan peserta didik, serta sistem pendidikan yang secara praktis lebih menekankan pada ranah kognitif, ada kalanya terjadi tindakan-tindakan berlebih dari pemegang otoritas disiplin dalam memberikan sanksi, namun hal itu lebih bersifat kasuistik karena dilakukan oleh pemegang otoritas disiplin yang tidak menghayati esensi penegakan disiplin dan kurang memahami secara operasional tentang kode etik pemberian sanksi, dan sering kali juga terjadi diakibatkan oleh perilaku pelanggar yang memancing emosi, dan hal itu pun secara normatif tetap tidak dbenarkan oleh lembaga serta ada konsekuensi yang diberikan oleh lembaga.
“Sanksi dalam dunia pendidikan bukan bertujuan untuk penyiksaan atau menyakiti secara fisik ataupun psikis, tapi memiliki tujuan luhur untuk menjaga tatanan disiplin dalam upaya menciptakan atmosfir pendidikan yang kondusif guna tercapainya tujuan pendidikan. Setiap lembaga pendidikan pada prinsipnya tidak pernah bersikap permisif terhadap kekerasan, dan setiap lembaga pendidikan memiliki tahapan-tahapan dan koridor etik yang ketat dalam melaksanakan sanksi, seperti sehingga sanksi diupayakan tidak mengarah pada tindak kekerasan”, paparnya.
“Para pakar pendidikan Islam membolehkan adanya sanksi fisik (jenis sanksi urutan keenam secara hierarkis, yang terakhir adalah DO) dengan persyaratan yang ketat, pertama, harus dilakukan oleh dan sepengetahuan pihak sekolah yang memiliki wewenang (termasuk kepala sekolah), kedua, tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan emosi, ketiga, seandainya dalam bentuk pukulan, tidak boleh berlebih, diukur sesuai dengan ketahanan fisik pelanggar, serta tidak mengenai anggota tubuh yang beresiko fatal, seperti kepala, muka, wilayah kelamin, perut, wilayah tulang rawan, dan anggota tubuh lain yang untuk pelanggar tertentu beresiko fatal”, jelasnya.
"Walhasil, terjadi dilema dalam upaya penegakan disiplin di lingkungan pendidikan. Padahal, disiplin di lingkungan pendidikan pada umumnya, menjadi faktor penting guna mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, dan sanksi merupakan konsekuensi logis dari sebuah penegakan disiplin, lebih tegas beliau sampaikan bahwa sanksi merupakan sunnatullah (hukum alam), dengan catatan dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan koridor etik yang benar" tambah beliau.
Beliau juga menyoroti perihal UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terutama pasal 50, 54 dan 77. Substansi UU ini tidak salah, bahkan sangat baik untuk diimplementasikan, hanya lagi-lagi persoalannya ada pada interpretasi. Pada pelaksanaannya UU ini tak jarang menimbulkan dilema.
“Harus secara jujur diakui, bahwa para tenaga pendidik, mereka seringkali berada pada posisi yang serba salah, antara tuntutan profesi (pasal 50) rambu-rambu perlindungan anak (pasal 54) dan konsekuensi hukum yang akan diterima (pasal 77). Satu sisi, mereka dituntut untuk mampu menghantarkan peserta didik mencapai tujuan pendidikan. Pada sisi yang lain, tatkala mereka berupaya untuk menegakkan displin, mereka dihadang oleh penafsiran UU Perlindungan Anak yang tendensinya tidak proporsional, cenderung mendegradasi hak-hak dan kewajiban guru sebagai tenaga pendidik. Ditambah lagi dengan tidak adanya payung hukum dalam bentuk undang-undang yang secara spesifik mengatur perlindungan guru. Padahal, fakta di lapangan, sering kali guru pun mendapatkan perlakuan kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh murid dan wali murid. Keberadaan UU No 14/2005 lebih mengarah pada upaya kesejahteraan guru (itu pun masih questionable), tidak secara spesifik mengatur perlindungan guru dari tindak kekerasan”, paparnya.
(Berita ini dielaborasi dari makalah seminar dan dari pandangan-pandangan aktivis HAM, pengamat pendidikan, dan aktivis KPAI yang menjadi nara sumber, tanpa merubah substansi. Admin peliput berita ini hadir mendampingi K.H. Adrian saat seminar dilaksanakan. Berita ini dapat ditanggapi melalui forum Web La Tansa).

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Pesantren La Tansa
Lihat profil lengkapku

Pengikut